Oleh : Muhaimin Iqbal
Secangkir kopi di mal-mal harganya setara kurang lebih 3 kg kopi di tingkat petani. Dari petani sampai kopi yang disajikan tersebut terjadi peningkatan nilai yang lebih dari 100 kalinya atau 10,000%. Siapa yang menikmati hasil dari peningkatan nilai yang luar biasa ini ?, bisa jadi dari sisi materi yang menikmati adalah orang-orang yang bekerja cerdas. Tetapi diluar yang bersifat materi, penikmat yang sesungguhnya dari hasil kerja keras tersebut bisa jadi tetap sang petani sendiri – bila dia bekerja dengan ikhlas.
Selama ini bila kita mendengar istilah kerja dengan ikhlas, biasanya hanya dikaitkan dengan kerja yang sifatnya sukarela, tidak berbayar, pengabdian dlsb. Padahal ikhlas tidak ada hubungannya dengan berbayar atau tidak berbayar. Ikhlas adalah mengerjakan segala sesuatu hanya mencari keridlaanNya, bila Dia meridloi apa yang kita lakukan – tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan di dunia ini.
Orang yang hanya bekerja keras, dia hanya akan memenuhi kebutuhnnya sendiri – bahkan inipun sering kali tidak cukup. Kalau dia menghasilkan produk, produknya akan cenderung bersifat komoditi seperti kopi dari petani tersebut.
Orang yang hanya bekerja cerdas, dia bisa saja mengambil keuntungan berlebihan dari ketidak tahuan atau kelemahan pihak lain. Bisa saja dia akan menikmati keuntungan yang sangat besar, tetapi keuntungan ini tidak memberi manfaat kepada orang lain – bahkan untuk diri sendiri atau kelompoknya-pun sering tidak menimbulkan kebahagiaan.
Orang yang bekerja dengan ikhlas, ukurannya bukan lagi materi. Bukan rendah atau tingginya harga, bukan sedikit atau banyaknya harta – tetapi upaya terus menerus untuk mencari ridhloNya semata. Ikhlas bukan hasil sesaat atau snapshot, tetapi an on-going process – yaitu proses yang berjalan secara terus menerus karena kita tidak akan pernah tahu apakah kita sudah bekerja dengan ikhlas atau belum, atau Dia sudah Ridlo atau belum.

Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas
Berbeda dengan kerja keras dan kerja cerdas yang mudah dibuat KPI-nya (Key Performance Indicators), tentu tidak mudah membuat KPI kerja ikhlas. Sebagaimana angin yang tidak kelihatan dan kita hanya bisa melihat tanda-tanda keberadaannya dengan adanya pohon yang bergoyang, demikian pula kerja ikhlas – hanya sebagian tanda-tandanya saja yang dapat dilihat.
Bila kita menjauhi semua larangan-laranganNya dan melaksanakan semua perintah-perintahNya, maka insyaAllah sebagian dari tanda-tanda keikhlasan itu ada pada pekerjaan kita. Sebaliknya juga demikian - karena ikhlas itu mencari keridlaanNya semata – sulit kita bisa berharap bekerja dengan ikhlas bila larangan-larangannya seperti riba, korupsi, kecurangan dlsb masih mewarnai pekerjaan kita.
Bila orang yang bekerja dengan cerdas saja bisa menghasilkan 100-an kali keuntungan dibandingkan dengan yang bekerja keras. Yang bekerja dengan ikhlas akan menghasilkan puluhan ribu kali atau bahkan 100,000 kali lebih baik dari yang hanya bekerja dengan keras.
Dari mana hitungan ini ?, malam yang diberkahi – yaitu malam Lailatul Qadar – nilainya lebih baik dari 1.000 bulan atau kurang lebih 1,000 x 30 = 30,000-an malam. Sholat di Masjidil Haram di Mekah yang diberkahi nilainya 100,000 kali dari sholat di Masjid lain selain Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Apapun pekerjaan kita, bila kita lakukan dengan ikhlas – tentu juga dengan kerja keras dan cerdas - maka insyaallah kerja tersebut diberkahi olehNya. Sesuatu yang diberkahi hasilnya akan 30,000 sampai dengan 100,000 kali – seperti contoh keberkahan malam Lailatul Qadar dan keberkahan Masjidil Haram di Mekah tersebut. Tidak harus bersifat materi memang, tetapi berupa kebaikan yang sangat banyak dari apa-apa yang kita kerjakan !
Sebagaimana pak tani yang sulit memahami kalau kopinya bisa dijual 100 kali lebih mahal oleh para pengelola cafe di mal-mal, para pekerja pemburu materi yang cerdas sekalipun pasti juga akan sulit memahami bahwasanya ada hasil yang jauh lebih baik dari apa yang mereka kerjakan - yaitu hasil dari para pekerja ikhlas. InsyaAllah.
Secangkir kopi di mal-mal harganya setara kurang lebih 3 kg kopi di tingkat petani. Dari petani sampai kopi yang disajikan tersebut terjadi peningkatan nilai yang lebih dari 100 kalinya atau 10,000%. Siapa yang menikmati hasil dari peningkatan nilai yang luar biasa ini ?, bisa jadi dari sisi materi yang menikmati adalah orang-orang yang bekerja cerdas. Tetapi diluar yang bersifat materi, penikmat yang sesungguhnya dari hasil kerja keras tersebut bisa jadi tetap sang petani sendiri – bila dia bekerja dengan ikhlas.
Selama ini bila kita mendengar istilah kerja dengan ikhlas, biasanya hanya dikaitkan dengan kerja yang sifatnya sukarela, tidak berbayar, pengabdian dlsb. Padahal ikhlas tidak ada hubungannya dengan berbayar atau tidak berbayar. Ikhlas adalah mengerjakan segala sesuatu hanya mencari keridlaanNya, bila Dia meridloi apa yang kita lakukan – tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan di dunia ini.
Orang yang hanya bekerja keras, dia hanya akan memenuhi kebutuhnnya sendiri – bahkan inipun sering kali tidak cukup. Kalau dia menghasilkan produk, produknya akan cenderung bersifat komoditi seperti kopi dari petani tersebut.
Orang yang hanya bekerja cerdas, dia bisa saja mengambil keuntungan berlebihan dari ketidak tahuan atau kelemahan pihak lain. Bisa saja dia akan menikmati keuntungan yang sangat besar, tetapi keuntungan ini tidak memberi manfaat kepada orang lain – bahkan untuk diri sendiri atau kelompoknya-pun sering tidak menimbulkan kebahagiaan.
Orang yang bekerja dengan ikhlas, ukurannya bukan lagi materi. Bukan rendah atau tingginya harga, bukan sedikit atau banyaknya harta – tetapi upaya terus menerus untuk mencari ridhloNya semata. Ikhlas bukan hasil sesaat atau snapshot, tetapi an on-going process – yaitu proses yang berjalan secara terus menerus karena kita tidak akan pernah tahu apakah kita sudah bekerja dengan ikhlas atau belum, atau Dia sudah Ridlo atau belum.

Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas
Berbeda dengan kerja keras dan kerja cerdas yang mudah dibuat KPI-nya (Key Performance Indicators), tentu tidak mudah membuat KPI kerja ikhlas. Sebagaimana angin yang tidak kelihatan dan kita hanya bisa melihat tanda-tanda keberadaannya dengan adanya pohon yang bergoyang, demikian pula kerja ikhlas – hanya sebagian tanda-tandanya saja yang dapat dilihat.
Bila kita menjauhi semua larangan-laranganNya dan melaksanakan semua perintah-perintahNya, maka insyaAllah sebagian dari tanda-tanda keikhlasan itu ada pada pekerjaan kita. Sebaliknya juga demikian - karena ikhlas itu mencari keridlaanNya semata – sulit kita bisa berharap bekerja dengan ikhlas bila larangan-larangannya seperti riba, korupsi, kecurangan dlsb masih mewarnai pekerjaan kita.
Bila orang yang bekerja dengan cerdas saja bisa menghasilkan 100-an kali keuntungan dibandingkan dengan yang bekerja keras. Yang bekerja dengan ikhlas akan menghasilkan puluhan ribu kali atau bahkan 100,000 kali lebih baik dari yang hanya bekerja dengan keras.
Dari mana hitungan ini ?, malam yang diberkahi – yaitu malam Lailatul Qadar – nilainya lebih baik dari 1.000 bulan atau kurang lebih 1,000 x 30 = 30,000-an malam. Sholat di Masjidil Haram di Mekah yang diberkahi nilainya 100,000 kali dari sholat di Masjid lain selain Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Apapun pekerjaan kita, bila kita lakukan dengan ikhlas – tentu juga dengan kerja keras dan cerdas - maka insyaallah kerja tersebut diberkahi olehNya. Sesuatu yang diberkahi hasilnya akan 30,000 sampai dengan 100,000 kali – seperti contoh keberkahan malam Lailatul Qadar dan keberkahan Masjidil Haram di Mekah tersebut. Tidak harus bersifat materi memang, tetapi berupa kebaikan yang sangat banyak dari apa-apa yang kita kerjakan !
Sebagaimana pak tani yang sulit memahami kalau kopinya bisa dijual 100 kali lebih mahal oleh para pengelola cafe di mal-mal, para pekerja pemburu materi yang cerdas sekalipun pasti juga akan sulit memahami bahwasanya ada hasil yang jauh lebih baik dari apa yang mereka kerjakan - yaitu hasil dari para pekerja ikhlas. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar